Header Ads

Link Banner

3 Ulama Besar Indonesia Yang Menjadi Imam Masjidil Haram

  3 Ulama Besar Indonesia


Sejarah Masa Lalu Selalu Aktual

Indonesia adalah Negara yang luar biasa di berikan tanah yang Subur nan Luas oleh Allah SWT. Berbagai Sumber Daya Alam Indonesia punya mulai dari Lautan, Pegunungan hingga Hutan. Kita patut bersyukur bahkan ada sebagian orang yang mengatakan tanah di negri ini dijuluki sebagai negeri serpihan surga yang terlempar ke dunia.


 Segala Puja dan Puji kepada Allah SWT atas karunianya memilih dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan muslim terbesar atau terbanyak di Dunia. Kenapa bukan Arab Saudi yang notabene nya adalah awal mula perjuangan Agama Islam di tegakan?, kenapa bukan Tanah Syam yang juga banyak Sejarah Islam di sana?, dan juga kenapa bukan Negara yang di Timur Tengah yang negara negara Islam?. Dan tentu ini harus menjadi renungan bagi kita semua dan semoga suatu hari nanti Indonesia mampu menjadi pemimpin yang menyatukan dan melindung umat muslim seluruh dunia. Sehingga dengan karunia ini kita di jadikan cermin seorang muslim dan indonesia menjadikan pusat bagi orang orang kafir (Non Islam) dalam menilai Agama Islam, dimana Indonesia yang mayoritas beragama Islam negaranya penuh damai yang mematahkan bahwa Islam itu Teroris dan toleransi terhadap agama lain yang minoritas sehingga menggambarkan bahwa agama lain yang minoritas tentram dan bebas dalam melakukan ibadahnya ketika Agama Islam menjadi Mayoritas. Kita berduka terhadap musibah yang di alami oleh saudara saudara kita Muslim Rohingya dan Uighur serta Muslim di Negara lain yang mendapat perlakuan tidak baik karna maraknya Islamphobia 

Atribut Direction di Tag Marquee Portal HistoryA Berita & sejarah Portal HistoryA Berita & Sejarah


Sholawat serta Salam semoga selalu kita curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW berkat Perjuangannya dalam menegakan Agama Islam sehingga Agama Islam telah sampai ke Tanah Air Negri kita tercinta ini, sampai muslim di Indonesia terbesar di dunia dengan jumlah perkiraan 229 Juta dan melahirkan banyak Para Alim Ulama yang mewariskan Keilmuan dan meneruskan perjuangan dakwah Baginda Nabi SAW. 


Inilah 3 Ulama Indonesia yang Mendunia karna Keilmuan dan Kesholehannya, menjadikannya Imam Masjidil Haram pusatnya masjid umat islam yang di dalamnya terdapat Ka'bah Kiblat Umat Islam


Berikut ini Biografi & Kehidupan  3 Ulama Indonesia yang Menjadi Imam Masjidil Haram 


1). Syaikh Junaid Al-Batawi


 Ulama Betawi yang memiliki pengaruh di dunia Islam pada awal ke-19 serta menjadi pongkol, poros atau ujung puncak utama silsilah ulama Betawi masa kini adalah Syaikh Junaid  Al-Betawi.

Mengenai tanggal lahirnya, tidak diketahui dengan pasti. Tahun wafatnya pun belum diketahui dengan jelas. Alwi Shahab menuliskan tahun 1840 sebagai tahun wafat Syaikh Junaid. Padahal menurut Ridwan Saidi, pada tahun 1894-1895 ketika Snouck Hurgronje menyusup ke Makkah, diketahui Syaikh Junaid masih hidup dalam usia yang sangat lanjut.

Syaikh Junaid Al-Betawi adalah ulama Betawi yang lahir di Pekojan yang berpengaruh di Makkah  walau hanya enam tahun bermukim di sana. Ia imam Masjidil Haram, Syaikhul Masyaikh yang terkenal di seantero dunia Islam sunni dan mazhab Syafi`i sepanjang abad ke-18 dan 19. Menurut Ridwan Saidi,  Syaikh Junaid mempunyai banyak murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di tanah air bahkan di dunia Islam.  Misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi pengarang Tafsir Al-Munir dan 37 kitab lainnya yang masih diajarkan di berbagai pesantren di Indonesia dan di luar negeri dan Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, imam,khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 serta pengarang banyak kitab.

Khusus mengenai murid-murid Betawinya yang kemudian menjadi ulama terkemuka, belum banyak diketahui kecuali Syekh Mujitaba (Syekh Mujitaba bin Ahmad Al-Betawi)  dari Kampung Mester yang dinikahkan dengan putri Syekh Junaid. Muridnya yang lain adalah Guru Mirshod, Ayah dari Guru Marzuki Cipinang Muara.

Kiprah Syaikh Junaid Al-Betawi sedikit banyak terungkap dari catatan perjalanan Snouck Hurgronje, seorang orientalis terkemuka asal Belanda saat menyusup ke kota Makkah yang perjalanannya ditulis dan dibukukan dengan judul Mecca in the latter part of 19th Century.  Saat Snouck Hurgronje ingin bertemu dengan Syaikh Junaid ia ditolak oleh Syaikh Junaid. Menurut Hurgronje, saat ia menyusup ke Makkah diketahui bahwa Syaikh Junaid telah bermukim di Makkah selama 60 (enam puluh) tahun, tepatnya sejak tahun 1834.  Ia membawa istri dan keempat putra-putrinya saat ia berusia antara 35-40 tahun. Ketika Hurgronje berada di Makkah, usia Syaikh Junaid mendekati 90 tahun.Namun demikian, di usia yang sudah lanjut tersebut, ulama Makkah masih meminta beliau memimpin zikir dan membaca do`a penutup dalam setiap pertemuan ulama.

Syaikh Junaid memilki empat orang anak. Dua laki-laki, yaitu As`ad dan Said; dua perempuan. Seorang putrinya dinikahkan dengan Imam Mujtaba, asal Bukit Duri, Kampung Melayu, Jakarta dan yang seorang lagi dinikahkan dengan Abdurrahman Al-Mishri. Dari perkawinan putrinya dengan Abdurrahman Al-Mishri lahir seorang perempuan, Aminah, yang kemudian dinikahkan dengan Aqil bin Yahya yang melahirkan Usman bin Yahya. Usman bin Yahya kemudian menjadi mitra Snouck Hurgronje.

Menurut Alwi Shahab, salah seorang murid Syaikh Junaid yang menjadi ulama terkemuka, yaitu Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, sangat dekat dengan gurunya.  Karenanya, setiap haul Syaikh Nawawi, selalu dibacakan Fatihah untuk arwah Syaikh Junaid. Syaikh Junaid juga sangat dihormati di Tanah Hijaz. Pada 1925, ketika Syarif Ali (putra Syarif Husin) ditaklukkan oleh Ibnu Saud, kata Buya Hamka, di antara syarat penyerahannya adalah, ”Agar keluarga Syaikh Junaid tetap dihormati setingkat dengan keluarga Raja Ibnu Saud. Persyaratan yang diajukan Syarif Ali ini diterima oleh Ibnu Saud.” (Buya Hamka dalam ‘Diskusi Perkembangan Islam di Jakarta,’ pada 27-30 Mei 1987). Karenanya hingga sekarang, keturunan Syaikh Junaid ada yang menjadi pengusaha hotel dan pedagang. Mereka bukan berdagang di Pasar Seng, Mekkah, tapi di toko-toko. Konon, sebutan ‘Siti Rohmah…. Siti Rohmah’….  yang dilontarkan oleh para pedagang di Mekkah dan Madinah untuk para haji perempuan dikarenakan istri Syaikh Junaid Al-Betawi bernama Siti Rohmah. *** (Sumber: Genealogi Intelektual Ulama Betawi, Jakarta Islamic Centre, 2009)


~Muidkijakarta.or.id


2). Syekh Nawawi Al-Bantani


Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani atau yang biasa disapa dengan panggilan Syekh Imam Nawawi al-Bantani dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H/1813 M.


Ayah beliau, Syekh Umar al-Bantani merupakan sosok ulama yanga masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon) hingga sampai kepada Rasulullah Saw.


Nasab, Syekh Nawawi al-Bantani diantaranya sebagai berikut :


Syekh Nawawi al-Bantani


Syekh Umar al-Bantani


Syekh Arabi al-Bantani


Syekh Ali al-Bantani


Syekh Jamad al-Bantani


Syekh Janta al-Bantani


Syekh Masbuqil al-Bantani


Syekh Maskun al-Bantani


Syekh Masnun al-Bantani


Syekh Maswi al-Bantani


Syekh Tajul Arsy al-Bantani (Pangeran Sunyararas)


Sultan Maulana Hasanuddin


Sultan Syarif Hidayatullah


Syarif Abdullah Umdatuddin Azmatkhan


Sayyid Ali Nurul Alam Azmatkhan


Sayyid Jamaluddin Akbar Azmatkhan al-Husaini (Syekh Jumadil Kubro)


Sayyid Ahmad Jalal Syah Azmatkhan


Sayyid Abdullah Azmatkhan


Sayyid Abdul Malik Azmatkhan


Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadramaut)


Sayyid Muhammad Shahib Mirbath (Hadramaut)


Sayyid Ali Khali' Qasam


Sayyid Alawi ats-Tsani


Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah


Sayyid Alawi Awwal


Sayyid al-Imam 'Ubaidillah


Sayyid Ahmad al-Muhajir


Sayyid 'Isa Naqib ar-Rumi


Sayyid Muhammad an-Naqib


Sayyid al-Imam Ali Uradhi


Sayyidina Ja'far ash-Shadiq


Sayyidina Muhammad al-Baqir


Sayyidina Ali Zainal Abidin


Sayyidina Husain


Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti


Sayyidina Muhammad Saw


Wafat


Syekh Nawawi wafat di Mekkah pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah atau 1897 Masehi. Makamnya terletak di Jannatul Mu'alla, Mekkah. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq, Asma΄ binti Abû Bakar al-Siddîq.


Meski wafat di Jazirah Arab, namun hingga kini setiap tahunnya selalu diadakan haul atau peringatan wafatnya Syekh Nawawi al-Bantani di tanah air, tepatnya di Pondok Pesantren An-Nawawi Tanara, Serang, asuhan KH. Ma'ruf Amin. Haul Syekh Nawawi selalu ramai dihadiri para santri Nusantara, bahkan mancanegara


Pendidikan


Sejak berusia lima tahun, Syekh Nawawi sudah mulai belajar ilmu agama Islam langsung dari ayahnya. Bersama saudara-saudara kandungnya, Syekh Nawawi mempelajari tentang pengetahuan dasar bahasa Arab, fiqih, tauhid, al-Quran dan tafsir.


Pada usia delapan tahun bersama kedua adiknya, Tamim dan Ahmad, Syekh Nawawi berguru kepada KH. Sahal, salah seorang ulama terkenal di Banten saat itu. Kemudian melanjutkan kegiatan menimba ilmu kepada Syekh Baing Yusuf Purwakarta.


Di usianya yang belum genap lima belas tahun, Syekh Nawawi telah mengajar banyak orang, sampai kemudian beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak. Baru setelah usianya mencapai lima belas tahun, Syekh Nawawi menunaikan haji dan kemudian berguru kepada sejumlah ulama masyhur di Mekah saat itu.


Guru-Guru Syekh Nawawi diantarana :


Syekh Umar bin Arabi al-Bantani (Ayahnya)


KH. Sahal al-Bantani


Syekh Baing Yusuf Purwakarta


Syekh Ahmad Khatib asy-Syambasi


Syekh Ahmad Zaini Dahlan


Syekh Abdul Ghani al-Bimawi


Syekh Yusuf Sumbulaweni


Syekh Abdul Hamid Daghestani


Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi


Syekh Ahmad Dimyati


Syekh Muhammad Khatib Duma al-Hambali


Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki


Syekh Junaid al-Batawi


Syekh Zainuddin Aceh


Syekh Syihabuddin


Syekh Yusuf bin Muhammad Arsyad al-Banjari


Syekh Abdush Shamad bin Abdurahman al-Palimbani


Syekh Mahmud Kinan al-Palimbani


Syekh Aqib bin Hasanuddin al-Palimbani


Gelar Kehormatan Syekh Nawawi


Di antara gelar kehormatan yang disematkan kepada Syekh Nawawi al-Bantani adalah sebagai berikut:


al-Sayyid al-'Ulama al-Hijaz (tokoh ulama Hijaz) atau Sayyidul Hijaz (penjaga Hijaz)


Nawawi at-Tsani (Nawawi kedua). Orang pertama yang memberi gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani


al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam)


A'yan 'Ulama al-Qarn ar-Ram 'Asyar Li al-Hijrah (tokoh ulama abad 14 Hijriyah)


Imam 'Ulama Al-Haramain (Imam Ulama Dua Kota Suci)


Doktor Ketuhanan (orang pertama yang memberikan gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Christiaan Snouck Hurgronje)


asy-Syaikh al-Fakih (disematkan oleh kalangan pesantren)


Bapak Kitab Kuning Indonesia (disematkan oleh para Ulama Indonesia).


Murid-Murid Syekh Nawawi


Murid-murid Syekh Nawawi yang menjadi ulama diantaranya :


Syekh Muhammad Mahfudz at-Tarmasi


Syekh Kholil al-Bangkalani, Madura


Syekh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri


Syekh Tubagus Muhammad Asnawi al-Bantani, Caringin, Labuan, Pandeglang


Syekh Arsyad Thawil al-Bantani - Pejuang Geger Cilegon 1888 dan Penyebar Islam di Sulawesi Utara


Syekh Abu al-Faidh Abdus Sattar bin Abdul Wahhab ad-Dahlawi, Delhi, India - Pengajar di Masjidil Haram


Sayyid Ali bin Ali al-Habsy - Pengajar di Masjidil Haram


Syekh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat


Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani, Pattani, Thailand


Syekh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani - Cucu Syekh Nawawi


KH. Saleh Darat as-Samarani


KH. Hasyim Asyari, Jombang - Pendiri Nahdlatul Ulama


KH. Ahmad Dahlan, Yogyakarta - Pendiri Muhammadiyah


KH. Hasan Genggong - Pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong


KH. Mas Abdurahman - Pendiri Mathla'ul Anwar


KH. Raden Asnawi, Kudus


H. Abdul Karim Amrullah, Sumatera Barat


KH. Thahir Jamaluddin, Singapura


KH. Dawud, Perak, Malaysia


KH. Hasan Asyari, Bawean


KH. Najihun, Mauk, Tangerang


KH. Abdul Ghaffar, Tirtayasa, Serang


KH. Ilyas, Kragilan, Serang


KH. Wasyid - Pejuang Geger Cilegon 1888


KH. Tubagus Ismail - Pejuang Geger Cilegon 1888


KH. Arsyad Qashir al-Bantani - Pejuang Geger Cilegon 1888


KH. Abdurrahman - Pejuang Geger Cilegon 1888


KH. Haris - Pejuang Geger Cilegon 1888


KH. Aqib - Pejuang Geger Cilegon 1888


Perjuangan Syekh Nawawi


Setelah tiga tahun bermukim di Mekkah, pada tahun tahun 1828 Masehi, Syekh Nawawi akhirnya kembali pulang ke Banten. Sampai di tanah air, beliau menyaksikan masih banyak praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan penindasan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap rakyat. Dengan melihat realita begitu zalimnya, gelora jihad pun berkobar.


Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, Syekh Nawawi kemudian berdakwah keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah sampai pemerintah Belanda membatasi geraknya, seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid.


Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825 - 1830 Masehi), hingga akhirnya beliau kembali ke Mekkah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda, tepat ketika puncak terjadinya Perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830. Begitu sampai di Mekkah beliau segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya.


Syekh Nawawi mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib 'Ali, Mekkah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tetapi semakin lama jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Hingga jadilah Syekh Nawawi al-Bantani sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.


Nama Syekh Nawawi al-Bantani semakin masyhur ketika dia ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram, menggantikan Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi atau Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Tidak hanya di kota Mekkah dan Madinah saja dia dikenal, bahkan di negeri Suriah, Mesir, Turki, hingga Hindustan namanya begitu masyhur.


Pemikiran Syekh Nawawi


Syekh Nawawi memegang peran sentral di tengah ulama al-Jawwi. Dia menginspirasi komunitas al-Jawwi untuk lebih terlibat dalam studi Islam secara serius, tetapi juga berperan dalam mendidik sejumlah ulama pesantren terkemuka.


Bagi Syekh Nawawi, masyarakat Islam di Indonesia harus dibebaskan dari belenggu Kolonialisme. Dengan mencapai kemerdekaan, ajaran-ajaran Islam akan dengan mudah dilaksanakan di Nusantara. Pemikiran ini mendorong Syekh Nawawi untuk selalu mengikuti perkembangan dan perjuangan di tanah air dari para murid yang berasal dari Indonesia serta menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia.


Selain pelajaran agama, Syekh Nawawi juga mengajarkan makna kemerdekaan, anti Kolonialisme dan Imperialisme dengan cara yang halus. Mencetak kader patriotik yang di kemudian hari mampu menegakkan kebenaran. Perjuangan yang dilakukan Syekh Nawawi memang tidak dalam bentuk revolusi fisik, namun lewat pendidikan dalam menumbuhkan semangat kebangkitan dan jiwa nasionalisme.


Di samping itu, upaya pembinaan yang dilakukan Syekh Nawawi terhadap komunitas al-Jawwi di Mekkah juga menjadi perhatian serius dari pemerintahan Belanda di Indonesia. Produktivitas komunitas al-Jawwi untuk menghasilkan alumni-alumni yang memiliki integritas keilmuan agama dan jiwa nasionalisme, menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Belanda.


Untuk mengantisipasi ruang gerak komunitas al-Jawwi ini maka pemerintah Belanda mengutus penasihat pemerintah, Christian Snouck Hurgronje untuk berkunjung ke Mekkah pada tahun 1884 - 1885. Kedatangan Snouck ini bertujuan untuk meneliti lebih lanjut dan melihat secara langsung berbagai hal yang telah dilakukan oleh ulama Indonesia yang tergabung dalam komunitas al-Jawwi.


Menolak Wahabisme


Meskipun saat itu Arab Saudi dikuasai oleh pemerintahan yang berfaham Wahabisme, namun Syekh Nawawi berani berbeda pendapat dalam hal ziarah kubur. Kerajaan Arab Saudi melarang ziarah kubur dengan alasan bidah, namun Syekh Nawawi tidak menentang praktik ini.


Pendapat ini dilandasi temuan Syekh Nawawi tentang ketentuan hukumnya dalam ajaran Islam. Syekh Nawawi bahkan menganjurkan umat Islam untuk menghormati makam-makam orang yang berjasa dalam sejarah Islam, termasuk makam Nabi Saw dan para sahabat.


Menurut Syekh Nawawi, Mengunjungi makam Nabi Saw adalah praktik ibadah yang identik dengan bertemu muka (tawajjuh) dengan Nabi Saw dan mengingatkan kebesaran perjuangan dan prestasi yang patut untuk diteladani.


Menghasilkan Karya-karya yang Fenomenal


Karamah Syekh Nawawi yang paling tinggi dapat dirasakan ketika membuka lembar demi lembar Tafsir Munir yang ia karang. Kitab Tafsir fenomenal tersebut menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami firman Allah.


Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kasyifah al-Saja yang menerangkan syariat. Dan ratusan hikmah di dalam kitab Nashaih al-'Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan Syekh Nawawi al-Bantani.


Karya-Karya


Kecerdasan dan kealiman Syekh Nawawi tidak diragukan lagi. Ulama asal Mesir, Syekh 'Umar 'Abdul Jabbar dalam kitabnya "al-Durus min Madhi al-Ta'lim wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Haram” (beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang Pendidikan Masa kini di Masjidil Haram) menulis bahwa Syekh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai seratus judul lebih yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Banyak pula karyanya yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik.


Sebagian dari karya-karya Syekh Nawawi di antaranya adalah sebagai berikut:


al-Tsamar al-Yani'ah syarah al-Riyadl al-Badi'ah


al-'Aqd al-Tsamin syarah Fath al-Mubîn


Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh


BaÄ¥jah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf


al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb


Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi MuÄ¥immâh al-Dîn


Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah


Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd


Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄


Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân


al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd


Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah


Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah


Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm


Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts


Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji


Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî


Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm


Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd


Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry


Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb


Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq


Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ


al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-ÃŽmâniyyah


‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain


Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits


Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd


al-NaÄ¥jah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah


Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah


Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman


al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah


al-Riyâdl al-Fauliyyah


Mishbâh al-Dhalâm’ala MinÄ¥aj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm


Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd


al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny


Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm


al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah


Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.


Selain itu, karya tafsirnya, al-Munir, sangat monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsir al-Jalalain, karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan Imam Jalaluddin al-Mahalli yang sangat terkenal. Sementara Kasyifah al-Saja merupakan syarah atau komentar terhadap kitab fiqih Safinatun Najah, karya Syekh Salim bin Sumeir al-Hadhramy.


Karya-karya beliau di bidang Ilmu Akidah misalnya adalah Tijan ad-Darary, Nur al-Dhalam, Fath al-Majid. Sementara dalam bidang Ilmu Hadits misalnya Tanqih al-Qaul. Karya-karya dia di bidang Ilmu Fiqih yakni Sullam al-Munajah, Nihayah al-Zain, Kasyifah al-Saja, dan yang sangat terkenal di kalangan para santri pesantren di Jawa yaitu Syarah ’Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain. Adapun Qami'u al-Thugyan, Nashaih al-'Ibad dan Minhaj al-Raghibi merupakan karya tasawwuf.


~Laduni.id


3). Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi


Nama asli dari putra Minang yang pernah menjadi imam Masjidil Haram ini adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif Al-Minangkabawi, ia merupakan tokoh kelahiran Koto Tuo, Balai Gurah IV, Angkek Candung, Agam, Sumatera Barat, pada Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Mekkah pada Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M).


Kiprah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi


Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi termasuk tokoh pembaharu Islam di Nusantara.

Di antara ulama yang memiliki kontribusi terhadap Indonesia adalah Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Walaupun, ulama asal tanah Minang ini tinggal di Makkah dan menjadi Imam Besar Masjidil Haram  tapi beliau rahimahullah lah yang melahirkan para ulama besar di nusantara, seperti pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy'ari dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.


Tidak hanya itu, Syekh Ahmad Khatib juga berkontribusi lewat pemikirannya yang kemudian tersebar luas di Indonesia. Pemikirannya tersebar melalui dua jalan, pertama melalui kitab-kitabnya dan kedua melalui tatap muka langsung dengan muridnya dari Indonesia.


Syekh Ahmad Khatib mendirikan semacam pondok pengajian dilingkungan rumahnya yang digunakan sebagai tempat belajar menuntut ilmu pengetahuan agama. Pondok pengajian yang dikelolanya mengalami perkembangan dan muridnya mencakup beberapa negara di dunia, yang salah satunya berasal dari Indonesia.


Saat para ulama Indonesia menunaikan ibadah haji,  mereka biasanya akan menyempatkan diri untuk menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib. Setelah kembali ke Indonesia, murid-muridnya pun mampu menjadi ulama-ulama besar.


Murid-muridnya yang dari Minangkabau antara lain, Syekh Muhammad Jamil Jambek, H. Abdul Karim Amrullah yang merupakan ayah dari Buya HAMKA, dan H. Abdullah Ahmad. Sementara, yang berasal dari luar Minangkabau lebih banyak lagi.


Di antaranya, Syekh Muhammad Nur dan Syekh Muhammad Zain yang kemudian sama-sama menjadi mufti Kerajaan Langkat di Binjai, Syekh Hasan Hasan Maksum yang menjadi mufti Kerajaan Deli, dan Syekh Muhammad Saleh sebagai mufti Kerajaan Selangor.


Di Indonesia, murid-muridnya itu kemudian dikenal sebagai para ulama yang berjuang melawan kolonialisme di daerahnya masing-masing. Mereka juga mendirikan lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia.


Di Makkah, kesadaran Ahmad Khatib tentang pentingnya persatuan Islam terbangun. Dia merasa persatuan umat Islam di Indonesia juga harus diperkuat untuk membebaskan negara dari penjajahan. Lewat pemikirannya itu, Syekh Ahmad Khatib seakan membuka jalan perjuangan umat Islam di Indonesia.


Masa kecil


Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi. Dia lahir pada 26 Mei 1860 di Kota Kadang, Bukittinggi, Sumatra Barat. Ibunya bernama Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak dan ayahnya bernama Abdul Lathif.


Di masa kecilnya, Syekh Ahmad Khatib mempelajari dasar-dasar ilmu agama dengan tekun. Dia menerima ajaran Islam dari ayahnya langsung. Saat itu, dia juga sudah mampu menghafal beberapa juz dalam Alquran.


Di samping itu, Ahmad kecil juga sempat mengenyam pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja atau yang tamat tahun 1871 M. Saat berusia 11 tahun, dia pun dibawa sang ayah untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah.


Saat di Makkah, Syekh Khatib kemudian belajar kepada beberapa ulama di sana. Di antaranya, Syekh Ahmad Khatib belajar ilmu agama ke Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. Ilmu pengetahuan agama yang diperoleh dari para ulama itu mampu mempengaruhi pola pikir dan perilakunya.


Kemudian, saat berusia 16 tahun dia sempat pulang kampung ke Indonesia selama beberapa bulan. Namun, Syekh Ahmad Khatib tampaknya belum puas dengan ilmu agama yang diperolehnya. Dia pun kembali ke Makkah untuk lebih memperdalam ilmu agama dan memilih untuk menetapa di sana.


Pada suatu waktu di Bulan Ramadhan, Syekh Ahmad Khatib dan keluarganya mendapat undangan berbuka puasa dari pemimpin Kota Makkah, Syarif 'Aun ar-Rafiq. Setelah berbuka puasa, dia pun melaksanakan shalat berjamaah yang saat itu diimami oleh Syarif.


Namun, ternyata bacaan dalam shalatnya keliru, sehingga Syarif pun langsung diingatkan oleh Syekh Ahmad Khatib. Setelah kejadian itu, pemimpin Kota Makkah itu pun menyadari bahwa pemuda yang menegurnya tersebut merupakan orang yang pandai.


Karena itu, tak heran jika kemudian Syekh Ahmad Khatib ditunjuk sebagai imam dan guru besar dalam madzhab Syafi'i di Masjidil Haram. Ulama yang menjadi imam di salah satu tempat suci umat Islam ini tak diragukan lagi keilmuannya.


Sembari mengajarkan ilmu agama, kemudian Syekh Khatib juga banyak mengarang kitab. Selama hidupnya, dia telah menulis sekitar 50-an kitab berbahasa Arab dan Melayu. Kitab karangannya itu rata-rata bertema aqidah Islam dan berbagai isu kekinian lainnya.


Kitabnya yang berbahasa arab antara lain: Khasyiyah al-Nafarat ala Syarhi al-Waraqat li al-Mahalli, al Jawahiru al-Naqiyyah fi al-A’mali  al-Jaibiyyah, Riyadh al-Hussab fi ‘ilm al-Hisab, Ma’ainul Jaiz fi Tahqiq Ma’nal Jaiz, al-Qulu al-Mufid ala Mathlai al-Said, dan lain-lain.


Sementara, kitab karangannya yang berbahasa Melayu di antaranya, Mu’alimu al-Hussab fi ilmi al-Hisab, al-Manhajul Masyru’ fi al-Mawarist, Dhau al-Siraj, al-Jawi fi nahw, Salamu al-Nahw, Izhar Zughlai al-Kadzibin, dan lain-lain.


Dalam kitab-kitabnya, Syekh Ahmad Khatib menjelaskan tentang Islam yang murni, meluruskan ajaran tarekat, membahas tentang bid'ah, takhayul, khurafat, dan adat-adat yang bersebarangan dengan ajaran Alquran dan Sunnah Nabi.


Kitab karangannya tidak hanya tersebar ke Indonesia, tapi juga ke Suriah, Mesir, dan Turki. Dengan melihat judul karya-karyanya, tampaknya Syekh Ahmad Khatib tidak hanya ahli dalam masalah teologi saja, tapi juga menguasai beberapa bidang lainnya, seperti fikih, sejarah, Aljabar, Ilmu Hitung, ilmu ukur, ilmu falak dan ilmu waris.


Syekh Ahmad Khatib wafat di Makkah pada 13 Maret 1916 dalam suia 56 tahun. Dia meninggalkan banyak kitab yang berharga dan banyak melahirkan kader-kader ulama yang telah berjuang untuk bangsa Indonesia.


Meski telah wafat namanya masih terngiang terutama di kalangan santri dan penerus mazhab Syafi’i. Bangsa Indonesia harus bangga dengan nama besarnya yang mencapai Makkah. Apalagi, dia masih fasih berbahasa minang meskipun tinggal di tanah suci.


Syekh Ahmad Khatib ialah ulama besar Syafi’yyah di zamannya dan peneguh Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Dia ialah sosok yang berjiwa tasawuf sebagai mana pendiriannya dalam kitabnya “al-Fath al-Mubin".


Untuk masalah yang yang berkembang di Minangkabau, Syekh Ahmad Khatib dikenal sangat tegas terhadap praktik-praktik Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah dan hukum waris yang betdasarkan adat.


Polemik yang paling hebat muncul setelah Syekh Ahmad Khatib secara terbuka menentang Thariqat tersebut. Ia menyampaikan kritikannya itu dalam kitab Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin yang selesai ditulisnya pada 1906.


Dengan adanya kitab itu, seluruh pengikut tarekat Naqsabadiyah dan penganut tasawuf dari berbagai thariqat lainnya marah dengan tulisan Syekh Ahmad Khatib itu. Syekh Muhammad Sa’ad Mungka, guru besar Thariqat Naqsyabandiyah yang juga sahabat Syekh Ahmad Khatib, lalu meresponnya dengan menulis kitab berjudul Irghamu Unufi Muta’annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin yang rampung pada 1907.


Namun, di balik adanya perbedaan pendapat itu ada hikmah yang diperoleh. Pasalnya, perdebatan tersebut justru memicu gerakan-gerakan di Tanah Minang untuk berkembang dan maju meninggalkan keterbelakangan.


Kritik Syekh Ahmad Khatib terkait persoalan hukum waris juga mampu mengubah cara pandang masyarakat Minangkabau waktu itu. Kritiknya justru menumbuhkan kesadaran masyarakat Minangkabau bahwa tradisi matrilineal tidak dapat disejajarkan dengan hukum agama.


Pola pikir Syekh Ahmad Khatib yang cerdas dan bijak mampu mendorong pemuda-pemuda asal Minangkabau dan daerah lainnya tertarik untuk menuntut ilmu pengetahuan agama pada Syekh Ahmad Khatib.


~Republik.co.id


~Grup Kajian Sejarah Islam~


Assalamu'alaikum Pengurus Grup Menggali Sejarah yang di Muliakan Allah SWT Izin Promosi Grup Demi Men-Syi'arkan Dakwah Agama Islam semoga para Pengurus dan Anggota di grup Ini Senantiasa dalam Lindungan Allah SWT dan di Barokahi di setiap langkahnya


Grup Kajian Sejarah Islam


Yuk para Saudaraku Seiman dan Sebangsa  bergabung di Grup Kajian Sejarah Islam di Facebook kita belajar dan berdakwah bersama 


Grup Kajian Sejarah Islam adalah Grup Agama Islam Ahlus-Sunnah Wal Jama'ah. Grup yang Membahas dan Mengkaji Sejarah Sejarah Agama Islam 


1). Biografi dan Kisah Para Nabiullah & Rasulullah serta Keluarga, Sahabat dan Pengikutnya

2). Peristiwa, Tempat dan Benda Bersejarah Agama Islam 


Dengan Topik Topik Pilihan 


~Sirah Nabawiyah 

~Sirah Sahabat Nabi 

~Peristiwa Bersejarah 

~Tempat Bersejarah 

~Benda Bersejarah 

~Peradaban Islam

~KeKhalifahan

~Para Ksatria Islam

~Biografi & Kisah Hikmah Tabi'in & Para Alim Ulama

~Mahluk Mahluk Allah

~Kisah Inspirasi 

~Tokoh Muslim Berpengaruh

~Sejarah & Ulama Indonesia 

~Motivasi & Nasehat 

~Al-Qur'an & Sains

~Info Seputar Islam


-Link Grup-

https://www.facebook.com/groups/2718947554984274/?ref=share

Syukron Jazakumullah Khairan Katsiron

No comments